JAKARTA - Di era digital yang serba cepat ini, banyak anak muda dari Generasi Z menghadapi tekanan mental akibat aktivitas sehari-hari yang padat, media sosial, dan tuntutan akademik maupun pekerjaan.
Tekanan ini seringkali menumpuk dalam bentuk stres, kecemasan, atau bahkan perasaan kewalahan. Salah satu cara sederhana namun efektif untuk mengelola beban mental ini adalah journaling.
Meski terlihat seperti aktivitas menulis biasa, journaling sebenarnya merupakan sarana refleksi diri dan pengelolaan emosi yang bisa membantu Gen Z menjaga kesehatan mental secara lebih optimal.
Psikolog Klinis, Sarah Dian A, S.Psi., M.Psi., menjelaskan bahwa journaling bisa menjadi alat praktis untuk memproses pikiran yang biasanya menumpuk akibat ritme hidup yang cepat.
“Journaling sebenarnya bisa buat mengurangi beban pikiran kita. Yang biasanya numpuk kayak di era serba cepat gitu, kita harus ini, harus itu. Nah, itu bisa dibantu dengan journaling,” ujarnya.
Menurut Sarah, journaling membantu seseorang menguraikan emosi yang mungkin tertahan atau sulit diungkapkan secara verbal.
Misalnya, ketika seseorang marah atau sedih tapi tidak memiliki waktu untuk mengekspresikan perasaan tersebut, journaling memberikan jalur aman untuk menyalurkannya.
Dengan menulis, seseorang bisa mengenali emosi yang muncul, memahami penyebabnya, dan mulai menemukan cara untuk meredakan ketegangan batin.
Mengenal Diri Lebih Dalam
Selain membantu mengelola emosi, journaling juga berperan penting dalam mengenal diri sendiri lebih dalam. Aktivitas menulis ini dapat menjadi sarana introspeksi, membantu anak muda memahami pikiran dan perasaan mereka, serta memetakan bagaimana respons mereka terhadap berbagai situasi.
Sarah menegaskan, manfaat journaling tidak hanya sebatas menenangkan pikiran, tetapi juga membantu seseorang membangun hubungan yang lebih sehat dengan dirinya sendiri.
“Manfaatnya membantu mengenal diri lebih dalam. Terus mengubah cara berbicara pada diri sendiri. Belajar mencintai diri tanpa syarat dan membuat jeda pada diri sendiri. Yang dirawat bukan cuma luar aja ya, tapi diri yang di bagian dalamnya juga,” jelasnya.
Melalui proses ini, Gen Z dapat mengidentifikasi pola pikir negatif atau kebiasaan emosional yang mungkin merugikan mereka. Dengan pemahaman yang lebih baik terhadap diri sendiri, mereka dapat mengambil keputusan yang lebih bijaksana dan mengurangi risiko stres berlebihan atau konflik internal.
Mengurangi Stres, Kecemasan, dan Mendukung Pemulihan Diri
Salah satu manfaat paling menonjol dari journaling adalah kemampuannya untuk mengurangi stres, kecemasan, dan membantu pemulihan dari pengalaman traumatis atau negatif.
Aktivitas ini memungkinkan seseorang mengekspresikan perasaan tanpa harus memendamnya, sehingga mencegah akumulasi tekanan emosional yang bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental.
“Lanjut mengurangi gejala stres, kecemasan, dan depresi. Terus membantu proses trauma atau pengalaman negatif. Meningkatkan kemampuan problem solving (menyelesaikan masalah) juga,” kata Sarah.
Dengan journaling, pengalaman sulit yang sebelumnya membebani pikiran bisa diurai, dan Gen Z bisa melatih diri untuk menyikapi masalah dengan lebih rasional dan tenang.
Menumbuhkan Rasa Syukur dan Kepercayaan Diri
Tidak hanya membantu proses emosional, journaling juga efektif dalam menumbuhkan rasa syukur dan meningkatkan kepercayaan diri. Teknik gratitude journaling mencatat hal-hal yang disyukuri setiap hari mendorong pola pikir positif dan menguatkan harga diri.
Anak muda yang terbiasa menulis hal-hal yang mereka syukuri cenderung lebih menghargai diri sendiri dan memiliki pandangan hidup yang lebih optimis.
“Terus menumbuhkan rasa syukur nih, jadi ada gratitude journaling juga. Lalu meningkatkan self esteem dan kepercayaan diri. Mungkin ketika kita lagi overwhelmed (kewalahan), merasanya capek banget, jadi memandang diri rendah. Dengan journaling, kita bisa cari tahu, apa sih yang bikin kita berharga,” terang Sarah.
Selain aspek pribadi, journaling juga membantu Gen Z memahami diri mereka dalam konteks hubungan interpersonal. Dengan mengetahui perasaan dan kebutuhan diri sendiri, mereka bisa menyampaikan emosi dengan lebih jelas, membangun empati, dan memperkuat hubungan dengan orang lain.
Fleksibilitas Journaling: Tidak Terikat Waktu
Salah satu keunggulan journaling adalah fleksibilitasnya. Tidak ada aturan baku mengenai kapan dan bagaimana menulis. Sarah menekankan, yang penting adalah kejujuran pada diri sendiri dan niat untuk memahami perasaan.
“Jadi misalnya emosinya siang, nanti journaling-nya bisa malam, enggak apa-apa. Enggak ada waktu tertentu untuk journaling,” ujarnya. Dengan demikian, journaling bisa disesuaikan dengan ritme hidup Gen Z yang sibuk tanpa menimbulkan beban tambahan.
Hal yang paling penting adalah niat dari aktivitas itu sendiri. Journaling bukan sekadar kewajiban atau rutinitas kaku, tetapi sarana untuk memberi ruang pada pikiran agar lebih lega dan teratur. Aktivitas ini membantu anak muda untuk berhenti sejenak, merenung, dan kembali menemukan keseimbangan antara pikiran dan perasaan.
Tips Praktis Journaling untuk Gen Z
Sarah memberikan beberapa tips agar journaling lebih efektif:
Menulis secara rutin, tapi tidak dipaksakan lakukan ketika merasa perlu menguraikan perasaan.
Fokus pada kejujuran diri, bukan pada estetika tulisan. Yang penting adalah ekspresi emosi, bukan penampilan tulisan.
Perhatikan aspek syukur, tulis hal-hal kecil yang disyukuri setiap hari untuk membangun pola pikir positif.
Padukan dengan self-care lain, seperti tidur cukup, olahraga ringan, dan pola makan seimbang agar manfaat journaling lebih optimal.
Dengan mengikuti langkah-langkah ini, journaling menjadi lebih dari sekadar menulis catatan harian. Aktivitas ini membantu Gen Z memahami diri sendiri, mengurangi stres, meningkatkan kepercayaan diri, dan menjaga kesehatan mental di tengah tekanan hidup modern.
Di zaman yang serba cepat dan penuh tekanan seperti sekarang, journaling bukan hanya alat bantu psikologis, tetapi juga bentuk self-care yang mudah diterapkan, fleksibel, dan sangat bermanfaat untuk kesejahteraan emosional dan mental anak muda.